Senin, 27 Januari 2014

Masa KAnak-Kanak Part 1 (Jas Hujan Pokemon)

Angin semilir menghempas rambutku yang aku kuncir hingga hampir membentuk seperti sanggul, angin malam menusuk hidungku sehingga semakin banyaklah lendir hidungku yang hendak menetes. Lampu motor yang menerangi jalanan diiringi dengan lagu kanak-kanak, “sayuran” oleh keponakanku yang berusia 3 tahun, mengantarkanku kembali ke musim hujan masa kanak-kanakku.
 ***
 “Pakailah jas hujanmu dan payungmu nduk, pasangkan juga punya adikmu itu”, wanita usia 30 tahun dengan perawakan yang kurus dan tinggi semampai, kulitnya yang kuning langsat dan rambutnya yang ikal tergelung sempurna ditengah, Ibuku sambil mengaduk-ngaduk tumpukan baju kotor kami mengingatkanku untuk segera bergegas memakai peralatan musim hujan. Ya,,,,peralatan musin hujan yag tidak lazim hingga aku malas memakainnya. Bukan apa-apa,,,,aku takut diteriaki aneh. Huft,,,
 Di desa ku jas hujan masih belum merakyat atau bisa dibilang tidak ada yang memakainnya karena memang tidak ada yang menjualnya. Kami sendiri tidak membeli jas hujan kami di Desa kami, kami membelinya saat liburan hari minggu di kota Kabupaten. Jelas agak aneh jika aku dan adikku akan memakainnya di hari pertama sekolah setelah libur semester genap.
 “Cepetan tho nduk, ndang digawe jas hujane, ndang berangkat sekolah, mengko awakmu telat lek sekolah lho” “Injih bu, niki pun di damel”, dengan terpaksa akhirnya aku memakai jas hujanku berwarna kuning dengan saku di samping kanan dan kiri bergambar POKEMON, begitu pula milik adikku, kami memiliki jas hujan yang sama persis, hanya ukuran yang membedakan. Aku sekarang duduk di kelas 5 SD sedangkan adikku masih duduk di kelas 2 SD. Selesai memasang peralatan musim hujan, aku memakai sepatu “bataku” yang berwarna merah sekaligus juga memasangkan milik adikku yang sama persis dengan milikku hanya saja beda ukuran. Siap berangkat ke sekolah dan tentu saja siap juga untuk ditertawai.
Benarlah semua pradugaku, disepanjang jalan kami ditertawai karena memakai baju plastik aneh berwarna kuning di musim hujan, anak-anak SMP, anak-anak TK, teman-teman SD kami bahkan para tetangga yang kami lewati rumahnya juga ikut menertawakan kami
“Kowe iku gawe klambi opo tho nduk, kok enek topine, enek-enek wae” “Hahahhahaha,,,,klambine uaneh bocah loro iku”
 “Iyo aneh,,,hujan-hujan kok malah gawe klambi plastik lan aneh tho,,,, tapi lucu enek gambar Pokemon-ne,hahhahah” Sepanjang jalan aku dan adikku hanya terdiam dan menunduk menuju sekolah kami, sesekali adikku menarik tanganku ketika mendengan celotehan orang-orang yang kami lewati.
 “wes, ora opo-opo nduk, mlaku ae terus”
 Bersyukur aku memiliki adik yang begitu kuat, meski mendengar celotehan dan gelak tawa orang-orang disekitar kami, ia tetap diam. Karena ia tahu baju plastik kuning bertopi dan bergambar pokemon itu memberikan manfaat yang begitu besar.
Sesampainnya kami di sekolah, aku melepas jas hujanku dan jas hujan adikku, suatu pemandangan yang agaknya begitu ajaib telah muncul di tengan-tengah SD kami. Semua mata tertuju pada kami. Kamilah satu-satunya orang yang tidak basah kuyup. Teman-teman kami dan guru-guru kami yang memakai payung datang dengan baju yang basah, celana dan rok yang basah. Sedangakan aku dan adikku yang sepanjang jalan menjadi bahan tertawa dan ledekan orang-orang menjadi dua-duannya manusia yang tidak basah sama sekali. Aku dan adikku dian-diam tersenyum dan dalam hati kami bersyukur memiliki baju plastik kuning bertopi dan bergambar pokemon itu.
 “Terimakasih Ayah, Terimakasih Ibu, sudah mengenalkan kami pada jas hujan ini”.
 *** 
Motor Ayahku terus melaju di jalanan desa kami dengan diiringi masih dengan lagu yang sama oleh penyanyi yang sama, “Sayuran” by keponakanku. Suaranya yang lentang dengan lidah cadel semakin membuat lagu “sayuran” itu menjadi penghibur yang tiada tara, bahkan lebih indah daripada lagunya mbak agnes.^^ Tiba-tiba suara nyanyian keponakanku terhenti.
 “Anti, hujan ti,,,,,, bapak hujan,,,” teriakan keponakanku menyadarkaknku dan mersakan ada titik hujan yang semakin deras menghujam kepalaku.
 “lha iyo nduk hujan, ayo ngiyup sek, bapak mau mboten mbeto mantel”, seraya ayahku menepikan motor dan berhenti di depan teras penjual gorengan di dekat perempatan satu-satunya jalan aspal di Desa kami. Kami duduk di “amben” dan keponakanku melanjutkan nyanyian cadelnya masih dengan lagu yang sama “Sayuran”. Aku duduk dengan memangku keponakanku dan melihat jalanan aspal yang mulai ramai dengan orang-orang berjas hujan, dan anak-anak berjas hujan dengan warna-warna cerah dan bergambar kartun masa kini, sesekali ada yang masih bergambar pokemon, mengingatkanku pada peribahasa lama, “berakit-rakit dahulu, berenang-renang kemudian”.
27 Januari 2014
Lina Lau

Minggu, 26 Januari 2014

DUSTA

Meski berdiri diatas kaki palsu
Meski meminum susu basi
Meski terjungkal dalam mimpi
Meski terhempas dari bumi
Hanya satu kata yang terucap
Hanya satu nafas yg dihembuskan
Hanya satu hal yang terpikir
Dan hanya satu hal yang terpatri
'sandiwara'
Dusta sandiwara
Ingin berpulang pada kampung hati
Ingin tenangkan riak ombak
Meski terbentur karang yg menghempaskan

1-10-2009
Lina LAu

Reason to start blogging

Ketika membaca blog teman-teman yang menuliskan kisah-kisah mereka, imajinasi serta mimpi-mimpi mereka mengingatkanku kembali pada ruh yang dulu begitu melekat padaku. Aku mencarinya kembali di tumpukan-tumpukan kardus buku-buku lamaku, tapi aku tak menemukan apapun. Sesal beribu sesal ruh-ruh yang aku ciptakan dengan segenap hatiku hilang begitu saja. Kemudian muncul pemikiran ini, bagaimana aku mengembalikannya? Apakah setitik ruh itu masih tersisa dalam diriku? Aku merindukannya.

ketika aku berumur 13 tahun, ketika mulai berani melangkahkan kakiku untuk menunjukkan diriku, inilah aku! Aku mampu mengantarkan setiap ruh dalam karya sastra paling aku kagumi, PUISI. Deklamasi puisi mampu memberikan begitu banyak kebebasan dalam diriku, diriku yang tak pernah ada di hari yang kalian tahu, diriku yang selama ini aku jaga agar layaknya gadis 13 tahun. Namun, segalanya akan terbuka begitu lapang, diriku yang mengeluarkan ruh puisi pertamaku..Ayah dan Colosseum Gadis.

Ayah, aku ciptakan ketika aku haus akan kehadiran ayahku, ayahku meninggalkanku sendiri dan lama tak pernah memberikan kabar tentang keberadaannya. Aku rindu ayah, aku rindu kerja keras dan kasih sayangnya. Aku rindu ayahku yang senantiasa melindungiku kapanpun dan dimanapun. Maka, ketika guruku memberikan tuah untuk membuat karya sastra dan mendeklamasikannya, aku menghadirkan ayah ke bumi dan menciptakan ruhnya di tengah kelasku. Mengingatnya, benar bahagia dan tentram jiwa ini,.

Gadis 13 tahun yang sedang mengalami masa transisi, baru mengenal kata tampan, baru tau apa itu rasa yang berbunga, "Suka". ketika seorang pemuda datang ke rumah kakekku dengan orang tuanya. Pemuda necis, dengan kulit kuning langsat, tinggi jenjang, rambut cepak, kaos dan jeans yang fashionable mampu meruntuhkan colosseum gadis 13 tahun ini, sehingga malam itu, terciptalah ruh Colosseum Gadis. Indah, lucu nan menggemaskan. Ingat usia 13 tahun itu, ingat betapa bergairahnya aku dengan pena dan buku tulisku.

Beranjak lebih tua, menambah usia gadis 13 tahun itu, mulai berkenalan dengan karya sastra indah lainnya, Cerita Pendek dan Novel. Aku mulai banyak membaca karya-karya sastra terjemahan, yang paling banyak berpengaruh pada gaya penulisanku adalah karya sastra India. Bahasa dan budaya yang selalu mereka tonjolkan dalam karya mereka mampu memberka ruh tersendiri dalam gerakan penaku sehingga terciptalah kisah saat ibuku menghadapi maut, DADI. Dadi berasal dari bahasa India yang artinya Nenek. Aku membuat karya itu sebagai curahan hatiku tentang nenekku di saat ibuku menghadapi maut, penuh dengan emosi anak kecil yang tak tahu apa-apa, bahkan tak bisa menangis meskipun sakit menghujam, tak mengerti ungkapan sedih meskipun ia ingin jatuh tersungkur. Namun, ia melihat dadi yang begitu tegar tanpa setitik pun air mata jatuh, maka dari sudut pandangnya pakah dadinya juga seperti dia? bukankah dadinnya sudah tua? ataukah dadinnya memang menginginkan ibunya meninggal? begitu banyak emosi di dalamnya. 

Aku rindu, aku rindu menulis, aku rindu mencurahkan pikiran, imajinasi dan perasaanku. Kemanakah ruh itu perginya? Aku ingin mengembalikan ruh itu pada diriku, ruh yang telah lama tertidur lebih dari 3 tahun lamanya karena terlalu begitu serius dengan hal-hal ilmiah, hingga lupa ruh jangkauan luar pikiran logis. Aku ingin menghidupkan aku dengan ruh yang sama ketika aku sebagai gadis 13 tahun. Aku ingin memulainnya kembali, meski karya-karyaku telah hilang entah kemana. Maka, lewat blog ini, aku ciptakan Lina LAu's Corner, pojok tempat aku menghidupkan ruh-ruh karya-karya ku yang semoga mampu memberikan ruh manfaat pada umat manusia, bangsa dan negara. Amien.

Jember, 26 Januari 2014
Lina LAu